MEMBACAKAN
BERITA
Membacakan berita dapat menjadi suatu pengalaman yang menyenangkan bagi
sang pembaca dan pendengarnya jika pembacaan dilakukan dengan baik. Untuk dapat
menjadi pembaca berita yang baik perlu berlatih:
1. lafal dan pengucapan yang jelas;
2. intonasi yang benar;
3. sikap yang benar.
Dalam menyampaikan berita, intonasi dapat menimbulkan bermacam arti. Keras
lambatnya suara atau pengubahan nada, dan cepat lambatnya pembacaan dapat
digunakan sebagai penegasan, peralihan waktu, perubahan suasana, maupun
perenungan.
Dalam membacakan berita hendaknya diutamakan pelafalan yang tepat.
Gerak-gerik terbatas pada gerak tangan, lengan atau kepala.
Segala gerak tersebut lebih banyak bersifat mengisyaratkan (bernilai sugestif)
dan jangan berlebihan. Untuk menimbulkan suasana
khusus yang diperlukan dalam
pembacaan, suara lebih efektif dengan didukung oleh ekspresi wajah. Air muka
(mimik) dan alunan suara yang pas lebih efektif untuk meningkatkan suasana.
Senyum atau kerutan kening juga dapat membantu penafsiran teks.
Perhatikan pula kontak pandangan Anda dengan pendengar (penonton), terutama
bila membacakan berita melalui media televisi atau kontak langsung dengan
pendengarnya.Jadi, membaca berita adalah menyampaikan suatu informasi atau
berita melalui membaca teks berita dengan lafal, intonasi, dan sikap secara
benar
2. KATA BAKU
Kata baku adalah kata yang sesuai dengan kaidah kebahasaan. Kata baku digunakan
dalam teks-teks berita, makalah, surat dinas, dan teks-teks lain yang bersifat
resmi.
Kata tidak baku adalah kata yang tidak sesuai dengan kaidah kebahasaan. Kata
tidak baku biasanya digunakan dalam percakapan sehari-hari
Yang dimaksud dengan kata baku adalah kata-kata yang sesuai dengan pedoman atau
kaidah yang ditentukan (standardisasi). Dalam pemakaian, kita sering menjumpai
kata-kata yang tidak baku. Kata-kata yang tidak baku tersebut tidak sesuai
dengan pedoman atau kaidah yang ditentukan.
Kata risiko, misalnya, sering ditulis resiko atau kata universal ditulis
universil. Bila kata-kata tersebut digunakan dalam kalimat, kalimat itu pun
menjadi kalimat tidak baku. Ketidakbakuan bukan saja disebabkan oleh penulisan
yang salah, melainkan juga karena pengucapan yang salah, pembentukan yang tidak
benar atau penyusunan kalimat yang tidak tepat. Bahasa baku digunakan dalam
situasi resmi, misalnya dalam pemerintahan, pendidikan dan pengajaran,
penulisan ilmiah, perundang-undangan, atau kegiatan diskusi ilmiah.
3. HIKAYAT
Dick Hartoko dan B. Rahmanto (1985:59) mengatakan bahwa hikayat adalah jenis
prosa, cerita Melayu Lama yang mengisahkan kebesaran dan kepahlawanan orang
orang suci di sekitar istana dengan segala kesaktian, keanehan, dan mirip
cerita sejarah atau membentuk riwayat hidup.
Contoh:
- Hikayat Indera Bangsawan;
- Hikayat Iskandar Zulkarnaen;
- Hikayat Bayan Budiman
Hikayat merupakan bentuk cerita yang berasal dari Arab. Mulai dikenal di
Indonesia sejak masuknya ajaran Islam ke Indonesia. Hikayat itu hampir mirip
dengan dongeng, penuh dengan daya fantasi. Biasanya berisi cerita kehidupan
seputar istana. Kisah cerita anak-anak raja, pertempuran antarnegara, seorang
pahlawan yang memiliki senjata sakti, dan sebagainya. Hikayat sering kali
disebut sebagai dongeng istana. Tokoh dalam hikayat sudah dapat dipastikan
raja, permaisuri, putra dan putri raja, juga para kerabat raja. Cerita terjadi
di negeri Antah Berantah, dan selalu berakhir dengan kemenangan tokoh yang
selalu berpihak pada hal yang benar.
Hikayat adalah karya sastra lama Melayu yang berbentuk prosa yang berisi
cerita, undang-undang, dan silsilah bersifat rekaan, keagamaan, historis,
biografis, atau gabungan atau sekadar untuk meramaikan pesta. Misalnya: Hikayat
Hang Tuah, Hikayat Seribu Satu Malam
Ciri-ciri hikayat
1. Sebagian besar berupa sastra lisan (disampaikan dari mulut kemulut);
2. Anonim (tidak dikenal namapengarangnya);
3 . Komunal (hasil sastra yang ada dianggap milik bersama);
4. Statis (tidak mengalami perubahan atau perkembangan);
5. Tidak berangka tahun (tidak diketahui secara pasti kapan karya tersebut
dibuat); dan
6. Istana sentris/kraton sentries kehidupan raja-raja dan kaum kerabatnya).
Ciri khas sebuah hikayat:
1. Menimba bahannya dari kehidupan raja-raja dan dewa-dewi,
2. Isinya dongeng yang serba indah yang membawa pikiran sifat-sifat itu, dibaca
untuk pelipur
3. Pembaca ke alam khayal, dan lara, pembangkit semangat juang,
4. Melukiskan peperangan yang hebat, dahsyat, tempat para raja/dewa
mempertunjukkan kesaktiannya untuk merebut kerajaan atau seorang puteri.
Dalam hikayat biasanya tak ketinggalan dilukiskan peperangan yang menunjukkan
bentuk kesaktiannya rajaan atau seorang putri.
Perbedaan Hikayat dengan Novel
Novel adalah karangan prosa yang panjang mengandung rangkaian cerita kehidupan
seseorang dengan orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap
pelaku.
Istilah novel berasal dari bahasa Italia novella yang berarti kabar atau
berita. Adapun ciri khas sebuah novel di antaranya: di dalam sebuah novel
terdapat konflik yang mengakibatkan perubahan nasib pada pelakunya menceritakan
satu segi kehidupan pelaku jalan ceritanya singkat; hanya mengenai hal-hal yang
pokok/garis besarnya
Hikayat dan novel keduanya merupakan bentuk karya sastra yang berupa prosa.
Bedanya, hikayat merupakan bagian dari prosa lama sedangkan novel bagian dari
prosa baru.
Dalam perkembangannya, kini kita lebih mengenal bentuk novel daripada hikayat.
Hikayat merupakan peninggalan sastra Melay. sementara novel bagian dari
perkembangan hasil karya sastra Indonesia. Kini kita banyak mengenal hasil
karya novel populer maupun novel yang tergolong karya sastra. Bahkan novel
terjemahan dari berbagai negara pun banyak diterbitkan di Indonesia.
4. RESENSI
Istilah resensi berasal dari bahasa Belanda, resentie, yang berarti kupasan
atau pembahasan. Jadi, resensi adalah kupasan atau pembahasan tentang buku,
film, atau drama yang biasanya disiarkan melalui media massa, seperti surat
kabar atau majalah.
Pada Kamus Sinonim Bahasa Indonesia disebutkan bahwa resensi adalah
pertimbangan, pembicaraan, atau ulasan buku. Akhir-akhir ini, resensi buku
lebih dikenal dengan istilah timbangan buku.
Tujuan resensi adalah memberi informasi kepada masyarakat akan kehadiran suatu
buku, apakah ada hal yang baru dan penting atau hanya sekadar mengubah buku
yang sudah ada. Kelebihan dan kekurangan buku adalah objek resensi, tetapi
pengungkapannya haruslah merupakan penilaian objektif dan bukan menurut selera
pribadi si pembuat resensi. Umumnya, di akhir ringkasan terdapat nilai-nilai
yang dapat diambil hikmahnya.
Pembuat resensi disebut resensator. Sebelum membuat resensi, resensator harus
membaca buku itu terlebih dahulu. Sebaiknya, resensator memiliki pengetahuan
yang memadai, terutama yang berhubungan dengan isi buku yang akan diresensi.
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam penyusunan sebuah resensi.
1. 1 . Ada data buku, meliputi nama pengarang, penerbit, tahun terbit, dan
tebal buku.
2. Pendahuluannya berisi perbandingan dengan karya sebelumnya, biografi
pengarang, atau hal yang berhubungan dengan tema atau isi.
3. Ada ulasan singkat terhadap buku tersebut.
4. Harus bermanfaat dan kepada siapa manfaat itu ditujukan
Umumnya resensi terdiri dari
1. Judul
Judul resensi harus menarik dan selaras dengan keseluruhan isi resensi
2. Identitas buku
meliputi judul buku(judul asli dan Modern.terjemahan),penulis, penerbit, tahun
terbit, tebal buku.
3. Isi
Meliputi
- ulasan singkat isi
- keunggulan buku,
- kelemahan buku,
- rumusan kerangka
4. Penutup
Penutup resensi biasanya berisi buku itu penting untuk siapa dan mengapa.
Selain itu dapat juga berisi kelemahan buku.
Kiat Praktis Menulis Resensi Buku
Apakah resensi itu?
Resensi adalah tulisan yang menjelaskan kelebihan dan kekurangan sebuah karya
baik yang berupa buku maupun yang berupa karya seni. Tulisan ini biasanya
dimuat di media cetak seperti koran, majalah, atau tabloid. Dilihat dari segi
isinya terdapat berbagai macam resensi, antara lain resensi buku, resensi
novel, resensi buku kumpulan cerpen, resensi film, resensi, patung, dan
sebagainya.
Uraian berikut ini lebih difokuskan pada resensi buku.
Siapakah penulis resensi?
Penulis resensi adalah orang yang memiliki pengetahuan tentang bidang yang
diresensi dan memiliki kemampuan untuk menganalisis sebuah karya secara kritis
sehingga dapat menjelaskan kelemahan dan kelebihan dari karya yang diresensi.
Apakah tujuan ditulisnya sebuah resensi?
Resensi dimaksudkan untuk memberikan gambaran kepada pembaca tentang sebuah
karya sehingga pembaca mengetahui apakah karya yang diresensi itu merupakan
karya yang bermutu atau tidak. Resensi akan sangat bermanfaat apabila karya
yang diresensi relatif masih baru. Semakin baru karya yang diresensi, semakin
baik. Hal itu dimaksudkan agar pembaca segera mengetahui apakah karya itu layak
untuk dinikmati atau tidak..
Apa saja unsur-unsur dalam resensi?
Sekurang-kurangnya dalam resensi terdapat hal-hal berikut ini:
• Judul resensi
• Identitas karya (buku) yang diresensi
• Uraian tentang jenis karya yang diresensi
• Uraian tentang kelebihan dan kekurangan karya yang diresensi
• Kesimpulan yang berisi penegasan kembali mengenai layak tidaknya karya
tersebut untuk dinikmati oleh pembaca.
Bagaimana langkah-langkah menulis resensi buku (novel)?
Langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam menulis resensi buku (novel) adalah:
1. Tahap Persiapan meliputi:
(a) Membaca contoh-contoh resensi; dan
(b) Menentukan buku yang akan diresensi.
2. Tahap Pengumpulan Data meliputi:
(a) Membaca buku yang akan diresensi;
(b) Menandai bagian-bagian yang akan dijadikan kutipan sebagai data meliputi
hal-hal yang menarik dan tidak menarik dari buku (novel) yang diresensi;
(c) Mencatat data-data penulisan resensi yang telah diperoleh melalui membaca
buku yang diresensi..
3. Tahap Penulisan meliputi:
(a) Menuliskan identis buku;
(b) Mengemukakan isi buku (sinopsis novel dan unsur-unsur intrinsik lainnya );
(c) Mengemukakan kelebihan dan kekurangan buku (novel) baik dari segi isi
maupun bahasa;
(d) Merevisi resensi dengan memperhatikan susunan kalimatnya, kepaduan
paragrafnya, diksinya, ejaan dan tanda bacanya.
(e) Membuat judul resensi.
Catatan:
Judul resensi harus singkat, menarik, dan menggambarkan isi resensi.
Bagaimana cara menemukan kelebihan dan kekurangan buku yang diresensi?
Cara menemukan kekurangan dan kelebihan buku yang diresensi adalah:
• membandingkan buku yang diresensi dengan buku lain yang sejenis baik oleh
pengarang yang sama maupun oleh pengarang lain yang meliputi segi isi atau pun
bahasanya (untuk novel meliputi semua unsur intrinsiknya);
• mencari hal-hal yang menarik atau disukai dan hal-hal yang tidak disukai dari
buku tersebut dan mencari alasan mengapa demikian.
Berikut ini adalah contoh resensi buku nonfiksi.
Kisah-Membaca Seorang "Yogi Buku"
Judul buku : Dari Buku ke Buku, Sambung Menyambung Menjadi Satu
Penulis : P. Swantoro
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Cetakan : I
Tahun terbit : 2002
Jumlah halaman : xxv + 435 halaman
Bagi Polycarpus Swantoro yang ahli sejarah dan jurnalis senior, membaca buku
seolah-olah seperti berolah yoga. Sebagaimana seorang empu keris yang bekerja
dalam waktu yang lama untuk membuat keris yang ringan dari bahan yang bobotnya
puluhan kilogram, seperti itu pulalah yang dilakukan oleh P. Swantoro. Bedanya,
P. Swantoro tidak melakukan pekerjaan menempa besi, tetapi membaca buku. Tentu
saja ada ribuan judul buku yang sudah dibaca Pak Swan. Namun, dalam bukunya
yang berjudul Dari Buku ke Buku, Sambung Menyambung Menjadi Satu ini
"hanya" 200 judul buku yang ia "kisahkan".
Dengan cara yang menawan, ia mengisahkan bagaikan seorang kakek yang baru
pulang dari berkelana di negeri yang jauh, kemudian menceritakan peng-alamannya
kepada anak cucunya.
Sebagai seorang pengelana di dunia buku, tidaklah mengherankan jika buku-buku
yang ia kisahkan merupakan buku-buku babon yang tua dan cukup langka,.
Misalnya, The History of Java karya Thomas S. Raffles yang terbit tahun 1817,
Inleiding tot de Hindoe-Javaanche Kunst karya N.J Krom yang terbit tahun 1919,
atau De Ijombok Kxpedie karya W Cool yang terbit tahun 1896. Memang, di
sana-sini, untuk keperluan pendukung data, Pak Swan juga menggunakan cukup
banyak sumber sekunder. Sebenarnya, hal ini agak mengganggu. Ketika membahas
topik PKI, misalnya, Pak Swan, sebenarnya, perlu menggunakan sumber yang lebih
memadai.
Tema yang diangkat pun beraneka ragam, mulai dari cerita tentang
lambang-lambang kota di Indonesia, cerita tentang penulis pertama buku komunis
di Indonesia, cerita Pak Poerwa, cerita tentang meletusnya Gunung Merapi,
cerita tentang para orientalis dan sarjana Indonesia, romantika para pendiri
bangsa, serta ditutup dengan khayalan Pak Swan agar para pemimpin dan
intelektual masa kini dapat beryogi. Bagi para pembaca "pemula", tema
yang tumpang-tindih tanpa sistematika yang jelas ini cukup merepotkan.
Dalam membicarakan suatu bab, Pak Swan sering meloncat-loncat kian kemari. Kata
demi kata mengalir tanpa jelas muaranya. Misalnya, ketika membicarakan Teeuw,
Yogi Sastra, Yogi Keris, Yogi Ilmu, pembaca benar-benar dituntut cermat untuk
menginterpretasikan benang merah ide tulisan-tulisan ini. Namun, jika kita
bersabar untuk menikmati buku ini sampai habis, tentu kita dapat menemukan
keseluruhan ide Pak Swan dan kebingungan yang muncul di bab demi bab akan
terjawab.
Buku Pak Swan ini mengingatkan kita pada tiga jilid buku Nusa Jawa Silang
Budaya karya Denys Lombard. Tulisan Lombard juga mengabaikan kronologi waktu, yang
merupakan syarat untuk menulis sejarah konvensional. Namun, kecurigaan bahwa
buku Pak Swan menggunakan pola yang sama dengan buku Denys Lombard tidak
terbukti mengingat dalam menulis buku ini Pak Swan lebih mengandalkan
memorinya, seperti pengakuan Pak Swan sendiri dalam pengantar. Karena
mengandalkan memori, tentu saja tulisan yang dihasilkannya menggunakan pola
penceritaan lisan.
Buku ini lebih merupakan buku sejarah walaupun temanya beraneka ragam. Pembaca
yang baru akan masuk ke wacana sejarah Indonesia, akan sangat terbantu dengan
membaca
Buku ini sebenarnya akan lebih sempurna jika penulisnya, di samping
membicarakan cara pandang para orientalis Barat, juga memberikan contoh
buku-buku yang memuat cara pandang Timur. Sekadar contoh, dijelaskan tentang
sebutan "Timur Tengah" untuk wilayah negara di jazirah Arab. Mengapa
orang Indonesia tidak menyebutnya sebagai "Barat Dekat", misalnya?
Bukankah sebutan "Timur Tengah" adalah sebutan orang Barat yang
melihat jazirah Arab dari sudut pandang wilayahnya? Pandangan seperti ini
sangat diperlukan bagi para mahasiswa sejarah di Indonesia yang tampaknya
semakin kesulitan membaca buku-buku sumber utama.
Untuk keperluan studi para mahasiswa sejarah, akan sangat menggembirakan jika
Pak Swan menceritakan juga buku Orientalism karya Edward W. Said yang terbit
tahun 1979. Selain itu, sebaiknya, buku yang berisi sikap kita terhadap tradisi
Barat yang berjudul Oksidentalisme karya Hassan Hanafi yang diterbitkan
Paramadina, Jakarta, tahun 2000 juga dibicarakan.
Hal lain yang belum dibahas secara lengkap oleh Pak Swan sebagai seorang ahli
sejarah dan pemerhati kebudayaan Jawa adalah tentang historiografi Jawa. Prof.
C.C. Berg, memang, sempat dimunculkan dalam bagian Babad: Kitab Dongeng? Namun,
sayang sekali, karya C.C. Berg yang berjudul Oavaanche Geschiedschrijving, yang
terbit di Amsterdam tahun 1938, tidak dimunculkan sehingga gambaran mengenai
penulisan sejarah di Pulau Jawa menjadi agak terabaikan.
Terlepas dari berbagai ketidaksempurnaan-nya, harus diakui bahwa buku pertama
seorang "yogi buku" ini merupakan karya yang memikat. Bahkan cara dan
gaya pengungkapannya, dalam kadar tertentu, telah memberikan sentuhan sastra
yang cukup enak dinikmati. Kita menantikan karya berikutnya.
Sumber: Majalah Matabaca, Agustus 2002 (dengan perubahan)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar